Ayo Jalan Terus ! - IBU nggak jujur mohon maaf. Ibu tidak jujur lantaran pesannya semua sama. Yang beda hanya warna dan desain. Nggak, saya katakan tadi. Kita dihentikan kaitkan dengan pilpres. Ibu membawa, menyatakan keyakinan nomor 2, nggak ada urusannya bu. Saya cuma tanya bedanya ini apa. Yang beda warna, yang beda desain, saya tanya, alasannya apa.
Pak Menteri, andai bapak mempunyai pengetahuan terhadap perilaku bathin, bunyi hati orang, setidaknya bunyi hati ibu ini, sekali lagi sudilah bapak tidak menyatakan Ibu tidak jujur didepan orang banyak. Rasanya tak cukup elok Pak. Sudilah Pak. Apa suasana hati bapak bila Ibu dari belum dewasa bapak dikatakan tidak jujur didepan orang?
Begitulah sepenggal kalimat Rudiantara, Menteri Kominfo, dalam program Kominfo Next di Hall Basket Gelora Bung Karno, Kamis (31/1) lalu. Kalimat itu dimuat pada satu media online kredibel. Nampaknya isu media itu cukup dijadikan rujukan. Memang kalimat “Ibu tidak jujur” tidak seheboh kalimat “yang honor ibu siapa.” Tetapi kalimat “ibu tidak jujur” bukan kalimat biasa.
Sampai Hati
Ibu itu, entah siapa namanya, dan jikalau tak salah berjilbab, menyatakan pilihannya itu, nampaknya di atas panggung. Ia ke panggung, lantaran dipanggil Pak Menteri, yang mustahil tidak punya ibu ini. Di atas panggung itulah Ibu ini ditanyai pilihannya atas dua jenis desain yang berbeda warnanya. Dan Ibu itu, mengawali jawabannya dengan lugas.
Bismillah, ibu ini mengawali jawabannya, dilanjutkan dengan kalimat “mungkin terkait keyakinan aja Pak.” Keyakinan atas visi misi yang disampaikan oleh nomer 2. Terang saja balasan ini menciptakan Pak Menteri kaget. Menurut Pak Menteri program ini tidak ada hubungannya dengan pilpres.
Setelah mengemukakan argumentasi, setidaknya alasan atas pilihannya itu, Pak Menteri kemudian menyampaikan “ibu tidak jujur, mohon maaf,” diikuti kalimat lain yang masih memunculkan sekali lagi satu kalimat “ibu tidak jujur” kemudian dilengkapi dengan serangkaian argumentasi dibelakangnya. Pak Menteri hebat, bisa mengetahui bunyi bathin ibu ini.
Ibu ini, mungkin saja tidak merasa kalimat “ibu tidak jujur” sebagai pukulan mematikan, merendahkan harkat dan martabatnya sebagai seorang Ibu, yang juga ASN. Mungkin. Entahlah. Ibu ini mungkin juga tidak merasa kalimat “ibu tidak jujur” yang disampaikan secara eksklusif oleh Pak Menteri yang terhormat, juga mulia ini, sebagai kalimat yang mengandung maksud mempermalukannya.
Pak Menteri memang orang terhormat, dan lebih tinggi kedudukan, mungkin juga kapasitasnya dibanding Ibu ini. Andai kalimat Pak Menteri yang mahir ini bermaksud mendidik Ibu ini, ada baiknya Pak Menteri yang terhormat menentukan cara lain menyampaikannya. Tidakkah Pak Menteri yang terhormat bisa, misalnya, sesudah acara, memangggil Ibu ini dan mengingatkannya?
Andai Pak Menteri tak mempunyai Ibu, sesuatu yang tak mungkin terjadi, lantaran status itu hanya disematkan pada Nabi Adam, tetap saja terasa indah, elok nan megah bila bapak menentukan cara lain. Andai Pak menteri menemukan kesempatan berpikir dan menjatuhkan pilihan untuk tak memakai kawasan itu memberikan tiga kata itu, sungguh Pak Menteri sangat berkelas.
Pak Menteri akan dinilai sebagai orang, jikalau tak terindah kebijaksanaan pekertinya, mungkin akan dinilai sebagai yang kesantunan budinya tiada tara. Pak Menteri, sayang sekali, entah apa yang merangsangnya, mengeluarkan kalimat “ibu tidak jujur” yang hasilnya dilihat khalayak sesudah insiden itu ditayangkan di telivisi. Kalaupun insiden itu tak ditayangkan di televisi, toh persitwa itu terlihat oleh banyak orang, setidaknya teman-teman Ibu itu.
Bismillahirrahmanirrahim
Betul dua desain itu berbeda warnanya antara nomor satu dan nomor dua. Itu jelas. Lalu ibu itu, entah apa yang mendorongnya, menyatakan pilihannya dengan argumen yang sudah tersebar luas itu. Argumennya tidak berkenaan di logika Pak Menteri. Tetapi Pak Menteri, argumen Pak Menteri juga sanggup dinilai tidak cukup.
Pak Menteri boleh mengesampingkan pilpres sebagai konteks insiden itu. Tetapi masalahnya mengapa ada kata pilpres disitu? Itu satu. Yang kedua, sebut saja konteksnya sungguh-sungguh bukan pilpres, mengapa Pak Menteri tidak memakai aksara A dan B untuk dua desain beda warna itu?
Pak Menteri mungkin “orang jujur” berbeda dengan Ibu yang Pak Menteri bilang tidak jujur itu. Pak Menteri mungkin mempunyai alasan hebat, canggih dalam menentukan angka satu dan dua untuk dua desain itu. Kedua desain itu dirancang dalam rangka sosialisasi pilpres, yang diikuti dua pasang calon. Tetapi mengapa gres kini disosialisasikan? Kenapa tidak kemarin-kemarin?
Pak Menteri tahu dikala ini kampanye pilpres sedang bergemuruh. Dua bulan lebih lagi bangsa ini akan mememilih presiden dan wakil presiden. Gemuruh pilpres nyata, jelas. Mengapa Pak Menteri menentukan angka satu dan dua, angka yang cukup gampang diasosiasi pada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden? Mengapa tidak menentukan huruf? Tidakkah angka itu mempunyai memudahkan orang mengasosiasikan dengan capres dan cawapres?
Pak menteri, masa orang salah menempatkan konteks, dibilang tidak jujur. Coba bapak renungkan sejenak. Akan lain nalarnya bila bapak menentukan kata “salah atau keliru” untuk tindakan ibu itu. Dua kata ini lebih mungkin menghadirkan keselarasan logika dengan konteksnya. Kata salah atau keliru lebih memungkinkan hadirnya logika yang mempunyai pijakan empiris, sanggup dicek, diverifikasi koherensinya dengan fakta.
Faktanya ialah gambar, desain yang diminta dinilai, bukan figur capres dan cawapres. Bila kata salah atau keliru yang dipakai, maka sulit untuk tidak menyampaikan bahwa yang dinilai ialah kemampuan nalar, bukan perilaku dan derajat bathin, harkat dan martabat orang. Bukan pula tenggang rasa dan simpati pada figur capres cawapres.
Sudilah Pak Menteri mengetahui bahwa menteri, dalam evaluasi Bung Hatta ketika merancang pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diubah, bukan sekadar membantu Presiden, tetapi pemimpin di Departemen. Sudilah Pak Menteri mau menyelami tujuan negara ini dibuat. Bila pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Pak Menteri selami, pasti Pak Menteri mengetahui bahwa negara ini dibentuk untuk, salah satunya, mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengatakan Ibu tidak tidak jujur, nampaknya tidak masuk ke dalam konteks mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tapi mau bilang apa. Nasi sudah jadi bubur. Karena keliru menempatkan konteks dalam penilaiannya, keluarlah kata “ibu tidak jujur” dari Pak Menteri. Mau bilang apa. Bu berbesar hatilah. Ambil saja hikmahnya. Kini ibu telah mengetahui bahwa Pak Menteri, pimpinan ibu ini mempunyai kemampuan menyampaikan “ibu tidak jujur.”
Tak teririskah hati bapak bila, entah apa sebabnya, orang meminjam dan memakai kalimat bapak itu ditujukan kepada Ibu dari belum dewasa bapak? Janganlah Pak. Semua Ibu mempunyai kasih. Semuanya Pak. Ibu ini boleh saja dibilang orang kecil, tetapi anak-anaknya pasti bersimpuh di hadapannya. Bagaimanapun belum dewasa pasti mengagungkan Ibu mereka. Semua Ibu mempunyai kasih.
Karena bapak ini menteri, mungkin tidak pantas bapak minta maaf sama ibu ini. Mungkin ibu ini tidak memerlukannya. Toh ia orang kecil, setidaknya tidak setara dengan bapak. Bu lupakan saja apa yang telah terjadi. Jangan marah. Jangan bawa ke hati. Mungkin ini cobaan. Terimalah ini sebagai risiko salah mengenali konteks yang membawa Ibu ke lafaz bismillah, yang tidak lain dari Bismillahirrahmanirrahim pilih nomer 2. (rmol)
OLEH: MARGARITO KAMIS
Penulis ialah Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
Penulis ialah Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
Terima Kasih sudah membaca, Jika artikel ini bermanfaat, Yuk bagikan ke orang terdekatmu. Sekaligus LIKE fanspage kami juga untuk mengetahui informasi menarik lainnya @Tahukah.Anda.News
0 komentar:
Posting Komentar