Ayo Jalan Terus ! - Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.
Itulah peribahasa yang sempurna untuk sosok Hasyim Asy’ari. Lelaki kelahiran 10 April 1875 ini mempunyai sebuah keunikan dan daya tarik tersendiri bagi kerabat dan lingkungan di sekitarnya. Pasalnya, Hasyim Asy’ari populer sebagai ulama besar sekaligus Hadratus Syaikh (Tuan Guru Besar) ini mempunyai pekerjaan sebagai petani.
Nama lengkapnya Mohammad Hasyim Asy’ari namun biasa dipanggil dengan Hasyim Asy’ari atau Hasyim Ashari. Lelaki yang populer sorban kepala dan jenggotnya ini merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi massa Islam di Indonesia. Diamerupakan putra dari pasangan Kyai Asy’ari dan Halimah. Ayahnya, Kyai Asy’ari merupakan seorang pemimpin Pesantren yang berada di sebelah selatan Jombang. Hasyim Asy’ari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, hasyim Asy’ari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). Dari ayah dan ibunya tersebut, dia diajari untuk memegang teguh dasar-dasar anutan Islam dan dibekali ilmu agama yang kuat.
Hasyim Asy’ari ialah tokoh yang besar lengan berkuasa dalam pendidikan. Menurut peneliti Zamachsan Dhofier, Hasyim Asy’ari ialah seorang santri yang luar biasa pintar. Sejak kecil Hasyim Asy’ari telah terlihat jiwa kepemimpinannya. Dia juga sudah membantu ayahnya mengajar santri di pesantren. Pada umur 15 tahun, lelaki beralis tidak terlalu tebal inimemperdalam ilmunya dengan nyantri di beberapa pesantren.
Diawali di Pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban. Tidak hanya kedua pesantren itu saja, namun Hasyim juga melanjutkan ke beberapa pesantren menyerupai Pesantren Trenggilis, Kedamengan dan Bangkalan. Tak usang di pesantren tersebut, belum puas dia melanjutkan ke Pesantren Siwalan Sidoarjo. Di Ppesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, tampaknya Hasyim Asy’ari benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Lima tahun berada di pondok ini, Kyai Ya’kub ternyata tertarik dengan sosok Hasyim Asy’ari yang dinilainya cerdas dan alim itu. Maka dengan itu, Hasyim Asy’ari bukan hanya menerima ilmu, namun juga istri.
Baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’kub. Tidak usang menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Selama tujuh tahun di Mekah, lelaki berjenggot ini selain menunaikan ibadah haji dia juga menuntut ilmu dan mencar ilmu kepada imam masjid besar dan terkemuka di Mekah. Ketika dikala menuntut ilmu di tanah suci, ternyata istrinya meninggal dunia. Kemudian, tahun 1893, dia berangkat kembali ke tanah suci dan menetap selama tujuh dan mencar ilmu pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.
Tahun 1899, cucu Kyai Usman ini pulang ke tanah air dan mengajar di pesantren milik kakeknya. Tak usang kemudian Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri semenjak tahun 1870. Dukuh Tebu Ireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana dia membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: Tratak) sebagai kawasan tinggal.
Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H bertepatan 6 Februari 1906 M, Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh alasannya ialah kegigihan dan keikhlasannya dalam menyoalisasikan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.
Pesantren Tebuireng yang pada awalnya ialah pesantren kecil, kemudian bermetamorfosis salah satu pesantren yang sangat besar lengan berkuasa di Jawa. Kebanyakan santri tertarik dengan sistem atau model pengajaran yang diberikan oleh Hasyim Asy’ari.
Hasyim Asy’ari bukan saja kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Hasyim Asy’ari istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia menyidik sawah-sawahnya. Kadang juga pergi ke Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Hasyim Asy’ari menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Chadidjah, istri dari Hasyim Asy’ari telah meninggal dunia ketika dia mencar ilmu di tanah suci. Hasyim Asy’ari menikah kembali dengan putri dari Kyai Ilyas, Nafiqoh, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan melahirkan sepuluh putra putri yaitu Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid (Wahid Hasyim), Abdul Hakim (Abdul Kholik), Abdul Karim, Ubaidillah, Mashuroh, dan Muhammad Yusuf.
Ternyata lagi-lagi Hasyim Asy’ari ditinggal oleh istrinya. Sepeninggal istri keduanya, dia menikah kembali dengan Masruroh, putri dari Kyai Hasan pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagi, Kediri yang kemudian dikaruniai empat putra putri, Abdul Qodir, Fatimah, Khotijah, dan Muhammad Ya’kub.
Dalam biografinya, Ayah kandung dari Wahid Hasyim ini menyebutkan bahwa dia merupakan jago dalam hadits Bukhari Muslim, sehingga dalam waktu tertentu dia sering mengadakan kajian rutin perihal hadits Bukhari Muslim selama sebulan suntuk. Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Makkah. Selama tujuh tahun Hasyim mencar ilmu kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Antara Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan sebetulnya tunggal guru.
Pengaruh akan Hasyim Asy’ari sangat diperhitungkan dan menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Diantaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa padatahun 1937, tapi ditolaknya. Bahkan Hasyim Asy’ari malah sempat menciptakan Belanda kelimpungan. Pertama, lelaki berprofesikan petani sekaligus pedagang ini memfatwakan bahwa perang melawan Belanda ialah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, alasannya ialah perlawanan gigih melawan penjajah muncul dimana-mana. Kedua, Hasyim Asy’ari juga pernah mengharamkan naik haji menggunakan kapal Belanda. Fatwa terssebut ditulis dalam Bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementrian Agama secara luas. Tentu saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung, alasannya ialah banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun pada dikala yang tidak diduga, Jepang berhasil dipenjara selama tiga bulan pada 1942. Tidak terang alasan Jepang menangkap Hasyim Asy’ari. Mungkin, alasannya ialah sikapnya yang tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmat kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal usaha Hasyim Asy’ari di Tebuireng bersamaan dengan semakin kejamnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tidak luput dari target Belanda. Tahun 1913, jasus belanda mengirim seorang pencuri untuk menciptakan keonaran di Tebuireng, namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Hasyim Asy’ari dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Hasyim Asy’ari sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, bisa menepis semua tuduhan tersebut dengan cermat. Akhirnya, dia dilepaskan dari jeratan hukum. Tidak hanya itu, Belanda juga berusaha untuk memporak-porandakan pesantren yang gres didirikan 10 tahun itu, dengan mengirimkan beberapa kompi pasukan balasannya hampir seluruh bangunan rusak, kitab-kitab dihancurkan dan dibakar. Perlakuan kejam Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik tahun 1940-an.
Hingga pada tanggal 26 Juli 1947 M/7 Ramadhan 1366 H, KH Hasyim Asy’ari wafat di Tebuireng, Jombang. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan. Demikian perjalanan dan usaha KH Hasyim Asy’ari hingga selesai hayatnya. Meskipun dia telah tiada, akan tetapi ruh usaha dia masih menempel pada tiap jiwa-jiwa yang pernah mencar ilmu kepadanya. Beliau juga meninggalkan karya-karya yang fenomenal diantaranya Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim, Ziyadat Ta’liqat, Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman dan masih banyak lagi.
Oleh: Mutmainah Nur Qoiri/ UIN Walisongo Semarang !
Terima Kasih sudah membaca, Jika artikel ini bermanfaat, Yuk bagikan ke orang terdekatmu. Sekaligus LIKE fanspage kami juga untuk mengetahui warta menarik lainnya @Tahukah.Anda.News
0 komentar:
Posting Komentar